Mitos Legenda Ratu Pelet Marongge Sumedang Jawa Barat

Pelet Marongge memang dahsyat dan selalu diburu orang yang memerlukan.
Pelet ini diyakini paling ampuh dalam memikat asmara lawan jenis. Ritual
memperoleh pelet Marongge pun unik. Yakni dengan ziarah di makam Mbah
Gabug, lalu berendam di Sungai Cilutung dan membuang pakaian dalam.

Ilmu
pelet adalah ilmu yang sering diburu orang. Diantaranya oleh mereka
yang sulit bertemu jodoh, usaha selalu rugi dan peruntungan negatif. Dan
ilmu pelet Marongge, lebih dikenal sebagai pemikat asmara. Ilmu pelet
ini didasar ilmu yang berasal dari Ajian Si Kukuk Mudik, milik Mbah
Gabug yang terkenal pilih tanding.



Bila ditelusuri lebih jauh, Ajian Si Kukuk Mudik berasal dari legenda
keramat Marongge. Marongge sendiri sebenarnya nama sebuah desa di
Kecamatan Tomo, Kab Sumedang. Lokasinya di sebuah bukit yang berada di
jalan raya Tolengas dan Cijeungjing, berbatasan dengan Kec. Kadipaten,
Kab. Majalengka dan juga dekat bendungan Jatigede



Menuju ke lokasi harus melalui jalan setapak yang
cukup menanjak. Seratus meter kemudian terdapat kompleks pemakaman umum
Desa Marongge. Di dalamnya terdapat tiga bangunan. Salah satunya paling
dikeramatkan karena diyakini kuburan karuhun sebagai ujung dari
asal-usul ilmu pelet Marongge. Tiada lain adalah makam Mbah Gabug, Mbah
Stayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah.

Setiap hari selalu saja ada
yang berziarah ke lokasi ini, kecuali Selasa. Peziarah tampak membludak
bila malam Jumat kliwon tiba. Saat itulah ritual nyacap ajian ilmu pelet
Marongge dilakukan. Terkadang, pengunjung mencapai ratusan orang.
Bahkan suatu kali pernah mencapai seribu orang ketika Jumat kliwon
bertepatan dengan bulan Maulud.

Mbah Gabug

Mbah Gabug
adalah wanita ayu asal Mataram yang bermukim di Kampung Babakan, dekat
Keramat Marongge sekarang. Di sanalah Mbah Gabung dahulu tinggal bersama
tiga saudara wanitanya, Mbah Setayu, Mbah Naibah dan Mbah Naidah.
Keempat bersaudara ini dianugerahi paras yang ayu. Bahkan kecantikan
mereka terkenal ke penjuru negeri. Sehingga tidak sedikit raja, pangeran
dan pemuda yang terpikat.

Namun, entah kenapa keempat gadis ayu
rupawan ini senantiasa melajang. Dan itu pula yang mengundang rasa
penasaran. Tersebutlah seorang raja bernama Gubangkala yang mengutus
patih diiringi bala tentara untuk menemui dan melamar paksa Mbah Gabug.
Tapi niat buruk itu tercium. Mbah Gabug lalu bersemadi dan mengerahkan
segenap kesaktiannya.

Ketika rombongan tiba di gerbang dusun
Babakan, mereka semua tertidur karena disirep Mbah Gabug. Tak berapa
lama mereka dibangunkan kembali. Sang patih yang congkak, tak menyadari
apa yang menimpa mereka dan pasukannya. Ia tetap bersikeras menyampaikan
permintaan raja dan meminta Mbah Gabug sudi dipersunting Raja
Gubangkala.

Menghadapi kepongahan sang patih, Mbah Gabug tetap
tenang. Ia menyatakan bersedia dipersunting Raja Gubangkala, namun
dengan satu syarat. Syaratnya adalah Gubangkala sanggup mengembalikan
kuku (sejenis buah labu air) yang dibawa arus deras sungai Cilutung yang
bermuara di sungai Cideres.




Mendapat tantangan itu, patih kembali menghadap
Gubangkala. Sang raja yang angkuh itu pun bersedia meladeni tantangan
kekasih hatinya, Mbah Gabug. Di sisi sungai Cilutung, keempat wanita ayu
itu menyaksikan kesaktian raja Gubangkala. Mbah Gabug melempar buah
kukuk ke sungai dan hanyut dibawa air deras. Gubangkala mengerahkan
kesaktian untuk menarik kembali buah kukuk itu sehingga melawan arus.

Namun
hingga seluruh kesaktiannya terkuras, buah itu tak kunjung kembali. Ia
pun akhirnya mengaku kalah, sambil meminta Gabug untuk menarik buah
kukuk yang hanyut itu. Mbah Gabug dengan tenang mengeluarkan lokcan
(selendang) yang dijuluki cindewulung itu dan mengibaskannya tiga kali.

Sungguh
menakjubkan, seketika buah kukuk yang telah hanyut dibawa arus itu
kembali dan akhirnya loncat ke sebuah batu cadas yang berbentuk meja.
Hingga kini, batu cadas ini dikenal dengan nama cadas meja dan masih
bisa disaksikan di Kampung Parunggawul desa Bonang, Kecamatan Kadipaten,
Kab. Majalengka, yang berbatasan dengan lokasi Keramat Marongge berada.

Nama Marongge

Seperti
diceritakan kuncen Marongge, Abdul Halim, upaya menaklukkan dan
mempersunting Mbah Gabug dan ketiga saudaranya ini terus berulang. Namun
mereka selalu menang dan tetap ingin melajang. Konon, itu semua berkat
selendang sakti berjuluk Cindewulung. Hingga suatu ketika, Mbah Gabug
pergi tanpa pamit. Selama tiga tahun 41 hari Mbah Gabung menghilang.

Ketiga
saudaranya mencari-cari hingga sampailah ke suatu hutan lebat. Di sana
Mbah Gabug ditemukan dalam keadaan tafakur, bahkan seperti sudah hendak
meninggal. Dan pada saat bersamaan, terdengarlah suara gaib. Suara itu
memerintahkan tiga adik Mbah GAbung untuk mencari kilaja susu munding
(buah mirip melinjo yang bentuknya sebesar pentil kambing). “Buah itu
diperuntukkan sebagai obat bagi Mbah Gabug. Mereka pun menemukannya, dan
ramuannya diminumkan kepada Mbah Gabug,” tutur Abdul Halim.



Perlahan
Mbah Gabug sembuh. Tapi terdengar lagi suara gaib. Kali ini empunya
suara memperkenalkan diri dengan nama Haji Putih Jaga Riksa, penunggu
Gunung Hade. Kemudian Mbah Gabug menyuruh ketiga adiknya menggali tanah
bekas Mbah Gabug dahulu ditemukan terbaring. Setelah selesai, Mbah Gabug
masuk ke dalamnya dan memerintah ketiga adiknya untuk menutup lubang
dengan rengge (sejenis ranting bambu haur), setelah itu ketiganya
disuruh pulang.

Karena penasaran dengan apa yang akan dilakukan
kakaknya, ketiga saudara ini kembali ke tempat itu menjelang tengah
malam. Dan mereka sungguh terkejut ketika dari tempat itu terlihat
merong (cahaya memancar). Akan tetapi tubuh Mbah Gabug tidak leihatan
lagi. Akhirnya nama itu hingga kini disebut Marongge. Berasal dari kata
merong dan rengge. Dan sejak itu pula tempat itu dikeramatkan dan
dikunjungi banyak orang yang mengalami kesusahan.

Ajian Kukuk

Menurut
kuncen Abdul Halim, mendapatkan ilmu pelet Marongge harus dengan
mengikuti ritual yang berpuncak pada malam Jumat kliwon. Ritual itu
disebut nyacap ajian (cara memperoleh ajian). Biasanya, sejak Kamis
siang para peziarah sudah berdatangan. Mereka datang dari berbagai
tempat. Menjelang malam mereka melakukan tawasul sambil mengungkap hajat
masing-masing di sekitar makam Mbah Gabung dengan dipimpin kuncen.
Saat
tengah malam, mereka berbaris dan berjalan menuju Sungai Cilutung.
Jaraknya sekitar 400 meter dari makam keramat Marongge. Dalam kegelapan
malam, mereka bergerak melintasi jalan Tolengas-Cijeungjing, menyusuri
jalan setapak, hingga mencapai Sungai Cilutung yang lebarnya 50 meter. 




Seluruh peserta turun ke sungai yang airnya tidak
terlalu dalam. Sambil mandi dan berendam, mereka membaca mantera yang
diberi kuncen diiringi ungkapan agar tercapai segala keinginan. Acara
berendam ini, kata Abdul Halim, merupakan ritual yang paling penting
dalam prosesi mendapatkan ilmu pelet Marongge.

Dan hingga
mendekati akhir prosesi, mereka diharuskan melepaskan pakaian dalam,
lalu dihanyutkan di sungai itu. Konon, ritual buang pakaian dalam itu
sebagai bentuk membuang segala kesialan. Selepas itu, prosesi nyacap
ajian ini pun selesai. Ketika keluar dari sungai, para peserta
menganggapnya sebagai memasuki babak baru dalam hidupnya. “Ada semacam
semangat dan keyakinan yang tumbuh. Kalau ingin jodoh mereka jadi
percaya diri,” ungkap Abdul Halim.

Kabarnya, ketika berada di
dalam air itu, seseorang yang beruntung kerap menemukan jodohnya
seketika di tempat itu pula. Misalnya, entah kenapa tiba-tiba seseorang
baik laki-laki atau perempuan bisa berkenalan dengan pasangannya
 
 

Comments

Popular posts from this blog

GENDAM PELET PALING TOKCER RATU KIDUL PANTAI SELATAN. BIKIN "KLEPEK KLEP...

Mitos Legenda Kota Santet Banyuwangi

Mitos Legenda Curug Jodoh (Country) Untuk Para Cewek Dan Janda Muda Bi...