Mitos Legenda Leuweung Larangan Dan Leuweung Keramat Kampung Naga Tasik ...

Kampung Naga adalah perkampungan masyarakat yang masih kuat memegang
adat istiadat karuhun (leluhur). Kehidupan masyarakatnya bersahaja dan
penuh kearifan tradisi. Keunikan Kampung Naga dengan segala aspeknya,
merupakan sebuah perbedaan mencolok dengan masyarakat lain di luar
Kampung Naga.



Kampung Naga secara administratif masuk dalam wilayah Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi
Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut
dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan
batas wilayah sebelah barat oleh leuweung karamat (hutan keramat).



Di dalam hutan inilah terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di
sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah
Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal
dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Kampung ini merupakan miniatur
masyarakat sunda tempo dulu. Perkembangan teknologi yang demikian ganas,
tak dapat menembus kampung ini.



Memasuki wilayah Kampung Naga, orang harus melewati sekitar 360 anak
tangga. Jumlah 360 itu memiliki cerita yang unik. Ternyata, anak tangga
yang menukik turun menuju lembah Kampung Naga ini tak pernah sama
hitungannya. Setiap orang yang mencoba menghitungnya, pasti selalu
berbeda.



Ada yang menghitung kurang dari 360 anak tangga, tapi tidak sedikit yang
menghitung lebih dari itu. Bahkan pernah ada dua orang orang yang
penasaran, lantas mereka menghitung secara bersamaan. Namun tetap saja
mereka tidak bisa memperoleh jumlah hitungan yang sama. Semua ini
merupakan teka-teki bagi pengunjung yang datang kesana.



Rumah Panggung



Kampung Naga diapit oleh tebing dan sungai yang mengalir disepanjang
kawasan tersebut. Sungai inipun mereka manfaatkan sebagai kolam ikan.
Setiap 3 bulan sekali mereka menanam dan menggambil ikan dari kubangan
(leuwi) yang dibuat khusus oleh masyarakat setempat.



Ornamen bangunan di Kampung Naga sangat langka kita temukan pada
masyarakat sunda dewasa ini. Rumah itu berbentuk panggung dan posisinya
seragam antara rumah satu dengan yang lain. Bahan baku utamanya berupa
kayu, bambu serta atap injuk dari pohon aren yang diambil langsung dari
hutan sekitar Kampung Naga. Dan secara keseluruhan, berjumlah 111
bangunan, yang terdiri dari 109 rumah hunian sebuah mesjid dan sebuah
aula pertemuan yang kesemuanya menghadap arah Timur.



Menurut Punduh Kampung Naga, Abah Maun, alasan mendirikan rumah panggung
adalah untuk menghindari kecemburuan sosial masyarakat. Lagi pula jika
mendirikan rumah permanen akan mengeluarkan biaya yang cukup besar.
“Untuk jumlahnya masyarakat Kampung Naga tidak akan yang sudah ada,
karena keterbatasan lahan serta telah menjadi hukum adat,” katanya.



Sedang alasan mengapa semua bangunan menghadap arah timur, Abah Maun
menjelaskan bahwa selain menyesuaikan dengan keadaan lahan dan menjaga
kebersihan, juga agar sinar matahari bisa langsung sampai ke dalam
rumah-rumah tanpa terhalangi oleh bangunan lain. Untuk membuat sebuah
rumah atau memperbaikinya, hampir semua masyarakat ikut bergotong royong
dalam pengerjaannya, sehingga pada proses pengerjaanya tidak
menggunakan kuli bangunan.



Sebelum memasuki Kampung Naga, pengunjung sangat dianjurkan untuk
meminta ijin terlebih dahulu pada sesepuh kampung. Selain meminta
persetujuannya, diharap masyarakat kampung naga tidak merasa terganggu
oleh kedatangan pengunjung. Seorang pemandu wisata Kampung Naga juga
mengingatkan bagi pengunjung yang ingin memotret agar meminta ijin dulu,
sebab hal itu tidak dilakukan, foto-fotonya tidak akan jadi atau
terbakar.



Di sebelah utara Kampung Naga, berderet kolam-kolam ikan yang sengaja
dibuat warga. Memang telah menggunakan tembok untuk pinggirnya, namun
hampir disetiap kolam memiliki jamban (pacilingan) yang masih terbuat
dari anyamam bambu. Jamban tersebut dipergunakan warga sebagai tempat
MCK. Meski sederhana namun masyarakat naga telah memandang kesehatan
sebagi suatu kebutuhan utama.



Hasil sensus penduduk tahun 2004 masyarakat Kampung Naga kurang lebih
326 jiwa, yang terdiri dari 106 kepala keluarga. Mayoritas dari mereka
bermata pencaharian petani, disamping ada yang berdagang dan merantau ke
luar kampung.
 

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan
kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan Sembah Dalem
Singaparana, anak Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu
Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah
daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, Kerajaan Galunggung runtuh
di tangan Prabu Rajadipuntang pada 1520-an karena diserang oleh Kerajaan
Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543).



Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan
Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi
menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu
Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak
bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu
Singaparana dibekali ilmu kadigdayaan yang membuat dirinya bisa nyumput
buni dina caang (bersembunyi di keramaian).



Hutan Larangan



Kampung Naga diapit dua bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Di seberang
sungai itu terdapat bukit kecil yang dipenuhi pohon-pohon yang tampaknya
berumur sangat tua. Itulah hutan yang oleh masyarakat Kampung Naga
disebut dengan Leuweung Larangan atau hutan larangan. Sementara di
sebelah barat atau di belakang perkampungan terdapat Leuweung Keramat.



Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut
sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit itu mulanya menempati
areal yang dihuni masyarakat Kampung Naga. Namun oleh Mbah Dalem
Singaparana, para dedemit itu dipindahkan ke hutan tersebut. Leuweung
Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh
siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya,
menginjakkan sebelah kaki pun merupakan merupakan pantangan yang sangat
keras.



Secara kosmologis, masyarakat Kampung Naga memilah dunia dalam tiga
wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan)
yang ada di sebelah barat. Lalu wilayah perkampungan tempat mereka hidup
dan bercocok tanam yang terletak di tengah-tengah. Dan Leuweung
Larangan tempat yang dihuni para dedemit yang terdapat di sebelah timur.



Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan
tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan,
sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan
dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka). Leuweung Larangan di
arah timur dan leweung Keramat di arah barat merupakan sumber kekuatan
sakral kehidupan keseharian mereka.



Sedangkan Leuweung Larangan merupakan wilayah kacau, tempat semua
dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat
adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk
mengalirkan kesakralan ke arah barat. Hutan Keramat dan Bumi Ageung
yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis
menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal.



Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang
harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat.
Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri
terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat.



Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan
mereka terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah
secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung
berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi
Ageung dan Leuweung Keramat.





Bumi Ageung



Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan
garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada
Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung
Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun. Pandangan
kosmologis yang menempatkan manusia (bumi tempat manusia berada) dalam
impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat) dan yang kacau (Leuweung
Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan tersebut.



Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang
secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade
(baik). Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung
Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung Keramat (ketidakbaikan)
tersebut mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani
kehidupan karena kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula
memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik.



Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah,
berhubungan dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu;
Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (Dunia
Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah, berhubungan dengan
dunia yang tidak baik, bernilai tiga.



Patokan ini menjadi dasar aktivitas mereka dalam mencari keselamatan,
kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka. Misalnya, bagi orang yang
hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat pada hari yang bernaktu
satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan nyangcang
munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami
nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling
moal luput mahi. 

Comments

  1. Apakah ini semua ada kaitannya dengan raden banyak sumba?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

GENDAM PELET PALING TOKCER RATU KIDUL PANTAI SELATAN. BIKIN "KLEPEK KLEP...

Mitos Legenda Kota Santet Banyuwangi

Mitos Legenda Curug Jodoh (Country) Untuk Para Cewek Dan Janda Muda Bi...